Minggu, 16 Juni 2013

LOGIKA PERANTARA DALAM KEMUSYRIKAN


Kemusyrikan yang terjadi pada zaman jahiliyah sebelum kedatangan Rosululloh SAW dahulu, adalah berawal dari munculnya "logika perantara". Tentunya kalimat itu  masih umum sekali. Nah, apa yang dimaksud 'logika perantara' disini? Maksudnya adalah sebuah logika pemikiran yang mengatakan bahwa kita itu tidak pantas untuk menghadap Allah langsung karena kita telah banyak noda dan dosa, sehingga orang-orang sholeh yang telah meninggal dijadikan sebagai perantara untuk menyampaikannya kepada Allah, karena menganggapnya orang soleh tersebut sudah mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah.

Begitulah maksud dari logika perantara. Dan itulah yang diyakini oleh para kaum musyrikin di Makkah sebelum kedatangan Rosululloh SAW. Sehingga mereka membuatkan patung-patung "orang soleh" itu, seperti Lata, Uzzaa, Manat dan Hubal. Nama-nama itu adalah orang-orang soleh yang ketika hidupnya dahulu sangat dermawan kepada orang-orang, jemaah haji yang berdatangan dari pelosok dunia dijamunya, dan kebaikan-kebaikan lain. Sehingga orang tersebut setelah matinya diagung-agungkan dan dijadikan sesembahannya.

Nah, mungkin dari kita belum banyak yang tahu siapa sih orang yang menjadi pelopor, pencetus, pendeklarasi adanya keyakinan itu?
Syaikh Muhammad ibn 'Abdul Wahhab mengangkat profil dari sang pendeklarasi itu di dalam buku beliau Mukhtashar Siraatir Rassul. Sang pendeklarasi tersebut adalah 'Amr ibn Luhay. Seorang pemimpin Bani Khuza'ah. Sang perantara kemusyrikan.

'Amr ibn Luhay pada awalnya adalah seorang yang soleh, ta'at dalam beribadah, penderma dan gemar bershodaqoh dan menjadi seorang kyai di kalangan Bani Khuza'ah. Sehingga setiap perkataan dia selalu di dengar oleh penduduk.

Suatu ketika 'Amr ibn Luhay melakukan perjalanan ke negeri Syam. Waktu itu negeri Syam adalah negeri yang maju dan menjadi tolak ukur di masa itu. Sehingga ketika 'Amr bin Luhay menyaksikan penyembahan berhala di negeri itu maka dalam pikirannya dia nah beginilah seharusnya, dengan begini negerinya bisa makmur.
Dari pikirannya itu maka sepulang dari Syam dia membawakan oleh-oleh untuk penduduknya di Makkah. Oleh-oleh itu bernama Hubal, hubal yang berhardware kan berhala dan bersoftware kemusyrikan. Penduduk Makkah dengan mudahnya mengikuti apa yang diajarkan "kyai" mereka, Sang Perantara Kemusyrikan. Sehingga seluruh dataran Hijjaz, Najd, Yamamah, sampai ke Yaman ikut terpengaruhi oleh ajaran sesat dari 'Amr ibn Luhay tersebut, dan menganggapnya sebagai penerus Ibrahim dan penjaga rumahNya. Bila saya sebut ini adalah "Kemusyrikan Sistemik". Na'udzubillahi min dzalik.

Lebih jauh lagi 'Amr ibn Luhay melakukan suatu ekspedisi penggalian arkeologis. Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury dalam Ar Rahiiqul Makhtum memberikan kabar bahwa dalam ekspedisi tersebut 'Amr ibn Luhay telah bekerjasama dengan jin untuk menemukan lokasi arkeologis tersebut. Saya juga berfikir, iya juga mana mungkin waktu itu ada alat untuk mendeteksi keberadaan benda arkeologis.
Akhirnya 'Amr ibn Luhay menemukan benda arkeologis itu di sekitar Jiddah, benda tersebut adalah berhala peninggalan di masa Nabi Nuh a.s., dia menemukan kembali Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq & Nasr. Mereka semua adalah nama orang-orang soleh di masa Nabi Nuh yang "dipertuhankan" oleh umat Nabi Nuh setelah kewafatannya. Polanya sama, menggunakan 'Logika Perantara'. Begitulah yang terjadi, logika perantara kemusyrikan ini telah terjadi sejak zaman nabi Nuh bahkan hingga sekarang.

Berhala-berhala yang ditemukan dalam ekspedisi itu dibawa ke Tihamah dan setelah musim haji ditempatkan kembali kedudukannya sebagai sesembahan.

Bahkan tidak hanya itu, 'Amr ibn Luhay juga lebih mempertegas dirinya sebagai pembaharu agama dengan memberlakukan syariat Thawaf pada berhala, bersujud pada berhala, berhaji, berkurban, bernazar dan ritual lainnya yang kesemuanya diperuntukan untuk berhala. Seiring dengan itu maka bermunculanlah perdukunan, peramalan, pengundian nasib, perjudian dan khamr yang kesemuanya itu berjalan atas logika dasar yang sama. Ritual ini berlangsung sampai diutusnya Rosululloh SAW.

Na'udzubillahi min dzalik,

Setelah kita menengok masa lalu, kita lirik saat ini. Coba lihat zaman sekarang. Mungkinkah "Logika Perantara" tersebut menjamur? Tapi sepertinya pertanyaan diawali dengan kata 'mungkinkah' ini kurang cocok...
Sekarang lihat makam-makam para wali? atau yang belum lama ini ada orang 'alim yang meninggal. Dengan segeranya orang-orang berduyun-duyun mendatangi makamnya katanya untuk mendapatkan barokahnya (astaghfirulloh al'adzim), kemudian yang datang ke makam para wali yang sudah jauh lebih dahulu meninggal, katanya sampaikan doa melalui karomahnya wali ini semoga Allah mengabulkannya. Jadi bukan mungkin lagi logika ini terjadi, tapi sudah terjadi di masyarakat kita saat ini. Astaghfirulloh al'adziim..

Apakah berduyun-duyunnya manusia pada orang yang sudah meninggal untuk “meminta keberkahan” dari orang yang telah meninggal itu adalah bukan Logika Perantara Kemusyrikan.???

Dan yang lebih parah lagi hal datang ke makam wali tersebut ada "sang kyai" yang membimbing para jama'ahnya untuk melakukan hal itu. Apakah "sang kyai" tersebut tidak faham tauhid? Lalu untuk apa di pengajian dia koar-koar tentang ketauhidan, menjelaskan tentang keEsaan Allah tapi realita yang dilakukan olehnya bertolak belakang dengan apa yang disampaikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar