LOGIKA PERANTARA DALAM KEMUSYRIKAN
Kemusyrikan yang
terjadi pada zaman jahiliyah sebelum kedatangan Rosululloh SAW dahulu, adalah
berawal dari munculnya "logika perantara". Tentunya kalimat itu masih umum sekali. Nah, apa yang dimaksud
'logika perantara' disini? Maksudnya adalah sebuah logika pemikiran yang
mengatakan bahwa kita itu tidak pantas untuk menghadap Allah langsung karena
kita telah banyak noda dan dosa, sehingga orang-orang sholeh yang telah
meninggal dijadikan sebagai perantara untuk menyampaikannya kepada Allah,
karena menganggapnya orang soleh tersebut sudah mendapatkan tempat terbaik di
sisi Allah.
Begitulah maksud
dari logika perantara. Dan itulah yang diyakini oleh para kaum musyrikin di
Makkah sebelum kedatangan Rosululloh SAW. Sehingga mereka membuatkan
patung-patung "orang soleh" itu, seperti Lata, Uzzaa, Manat dan
Hubal. Nama-nama itu adalah orang-orang soleh yang ketika hidupnya dahulu
sangat dermawan kepada orang-orang, jemaah haji yang berdatangan dari pelosok
dunia dijamunya, dan kebaikan-kebaikan lain. Sehingga orang tersebut setelah
matinya diagung-agungkan dan dijadikan sesembahannya.
Nah, mungkin dari
kita belum banyak yang tahu siapa sih orang yang menjadi pelopor, pencetus,
pendeklarasi adanya keyakinan itu?
Syaikh Muhammad
ibn 'Abdul Wahhab mengangkat profil dari sang pendeklarasi itu di dalam buku
beliau Mukhtashar Siraatir Rassul. Sang
pendeklarasi tersebut adalah 'Amr ibn Luhay. Seorang pemimpin Bani Khuza'ah.
Sang perantara kemusyrikan.
'Amr ibn Luhay pada awalnya adalah seorang yang soleh, ta'at dalam
beribadah, penderma dan gemar bershodaqoh dan menjadi seorang kyai di kalangan Bani Khuza'ah. Sehingga setiap perkataan dia selalu
di dengar oleh penduduk.
Suatu ketika 'Amr
ibn Luhay melakukan perjalanan ke negeri Syam. Waktu itu negeri Syam adalah
negeri yang maju dan menjadi tolak ukur di masa itu. Sehingga ketika 'Amr bin
Luhay menyaksikan penyembahan berhala di negeri itu maka dalam pikirannya dia
nah beginilah seharusnya, dengan begini negerinya
bisa makmur.
Dari pikirannya itu maka sepulang dari Syam dia membawakan oleh-oleh untuk penduduknya di Makkah. Oleh-oleh itu
bernama Hubal, hubal yang berhardware kan berhala dan bersoftware kemusyrikan. Penduduk Makkah
dengan mudahnya mengikuti apa yang diajarkan "kyai" mereka, Sang
Perantara Kemusyrikan. Sehingga seluruh dataran Hijjaz, Najd, Yamamah, sampai
ke Yaman ikut terpengaruhi oleh ajaran sesat dari 'Amr ibn Luhay tersebut, dan
menganggapnya sebagai penerus Ibrahim dan penjaga rumahNya. Bila saya sebut ini
adalah "Kemusyrikan Sistemik". Na'udzubillahi
min dzalik.
Lebih jauh lagi
'Amr ibn Luhay melakukan suatu ekspedisi penggalian arkeologis. Syaikh
Shafiyurrahman Al Mubarakfury dalam Ar
Rahiiqul Makhtum memberikan kabar bahwa dalam ekspedisi tersebut 'Amr ibn
Luhay telah bekerjasama dengan jin untuk menemukan lokasi arkeologis tersebut.
Saya juga berfikir, iya juga mana mungkin
waktu itu ada alat untuk mendeteksi keberadaan benda
arkeologis.
Akhirnya
'Amr ibn Luhay menemukan benda arkeologis itu di sekitar Jiddah, benda tersebut
adalah berhala peninggalan di masa Nabi Nuh a.s., dia menemukan kembali Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq & Nasr. Mereka
semua adalah nama orang-orang soleh di masa Nabi Nuh yang
"dipertuhankan" oleh umat Nabi Nuh setelah kewafatannya. Polanya sama, menggunakan 'Logika
Perantara'. Begitulah yang terjadi, logika perantara kemusyrikan ini telah
terjadi sejak zaman nabi Nuh –bahkan hingga sekarang–.
Berhala-berhala
yang ditemukan dalam ekspedisi itu dibawa ke Tihamah dan setelah musim haji
ditempatkan kembali kedudukannya sebagai sesembahan.
Bahkan tidak hanya
itu, 'Amr ibn Luhay juga lebih mempertegas dirinya sebagai pembaharu agama
dengan memberlakukan syariat Thawaf pada berhala, bersujud pada berhala,
berhaji, berkurban, bernazar dan ritual lainnya yang kesemuanya diperuntukan
untuk berhala. Seiring dengan itu maka bermunculanlah perdukunan, peramalan,
pengundian nasib, perjudian dan khamr yang kesemuanya itu berjalan atas logika
dasar yang sama. Ritual ini berlangsung sampai diutusnya Rosululloh SAW.
Na'udzubillahi min
dzalik,
Setelah kita
menengok masa lalu, kita lirik saat ini. Coba lihat zaman sekarang. Mungkinkah
"Logika Perantara" tersebut menjamur? Tapi sepertinya pertanyaan
diawali dengan kata 'mungkinkah' ini kurang cocok...
Sekarang lihat
makam-makam para wali? atau yang belum lama ini ada orang 'alim yang meninggal.
Dengan segeranya orang-orang berduyun-duyun mendatangi makamnya katanya untuk
mendapatkan barokahnya (astaghfirulloh al'adzim), kemudian yang datang ke makam
para wali yang sudah jauh lebih dahulu meninggal, katanya sampaikan doa melalui
karomahnya wali ini semoga Allah mengabulkannya. Jadi bukan mungkin lagi logika ini terjadi, tapi
sudah terjadi di masyarakat kita saat ini. Astaghfirulloh al'adziim..
Apakah berduyun-duyunnya
manusia pada orang yang sudah meninggal untuk “meminta keberkahan” dari orang
yang telah meninggal itu adalah bukan Logika Perantara Kemusyrikan.???
Dan yang lebih parah lagi hal datang ke makam
wali tersebut ada "sang kyai" yang membimbing para jama'ahnya untuk
melakukan hal itu. Apakah "sang kyai" tersebut tidak faham tauhid?
Lalu untuk apa di pengajian dia koar-koar tentang ketauhidan, menjelaskan tentang keEsaan Allah tapi realita yang dilakukan olehnya bertolak belakang dengan apa yang
disampaikan?